Maaf, pakai judul bahasa Inggris, supaya seperti novel yang terkenal itu hihihi..
Ceritanya ada kenalan bernama A yang sejak jaman universitas orangnya sangat “aktif”. Istilah populernya mungkin aktivis ya.
Saat ada topik suka colak-colek kita-kita…
“Gimana harusnya perempuan sekarang kelakuannya kenapa begini, apa yang harus dilakuin?”
Matanya melirik kepada kawan B.
B yang tengah asyik mengudap jajanan tahu gorengan dari abang-abang nyaris keselek…
Pada dasarnya B orangnya paling susah dikomporin. Yang membuat setipe A malah semakin kuat kasih bensin supaya B ikut kebakaran. Padahal Itu malah membuat B jadi gelisah dan berusaha mencari segala cara supaya bisa melarikan diri.
Tahun berganti, B ketemu lagi A dalam tipe lain. Dengan topik yang berbeda. Entah kenapa B itu seperti sebuah tantangan bagi model A untuk “ditarik” ke sisinya, yang lebih ekstrim.
Itu nggak enaknya jadi orang yang moderat. Kelihatannya netral. Kelihatannya nggak punya pendirian. Kelihatannya harus dibukakan matanya untuk melihat banyak hal.
Padahal si B ini sudah paham topik yang diajukan A, yang kalau dibahas bisa berjilid-jilid, sebetulnya punya kekurangan juga. Dan B juga ngerti, mereka yang berbeda opini dengan A pun punya kekurangan.
Cuma pada dasarnya B males aja berdebat panjang lebar. Apalagi kalau pakai kata-kata sanggahan,
“Gue nggak setuju elo…”
Itu namanya cari masalah, kata B. Mending di-iyakan saja dan semua orang akan hepi.
Aku kenal banyak orang seperti B. Walaupun punya pengalaman tentang sebuah topik dari ekstrim kiri dan kanan, dia memilih nggak memihak.
Alasan B,
“Dengan cara begitu gue bisa diterima di semua kubu. Gue juga nggak jatuh mikir bahwa salah satu cara adalah yang paling saklek. Karena gue takut kalau jadi ekstrim, nanti efeknya ke penilaian karena sudah membawa emosi. Akhirnya malah blunder deh”
Mungkin itu keuntungan jadi orang moderat.
Orang Indonesia itu sebetulnya secara alami sudah ada bakat moderat. Karena negaranya kepulauan, yang pandangan perkepala antar daerahnya saja sudah beda-beda. Karena itu perilaku yang terlampau ekstrim akan sulit diterima.
Mungkin itu juga yang bikin kita susah untuk satu haluan juga saat pandemi gini, ada yang ke kanan juga yang kekiri hahaha….
Aku sendiri punya beberapa kawan yang punya paham ekstrim yang berakhiran dengan kata “-is” (berbagai paham loh ya). Aku setuju dengan poin-poin yang mereka berikan, tapi yang nggak setuju juga ada. Cuma kalau diomongin kan rame dan panjang. Akhirnya aku menghindar bila bicara itu.
“Eh, udah baca buku judulnya ini belum? Bagus tentang…..”
Kawanku menyebut beberapa buku yang alirannya ahem keras, ya. Dan dari sinopsis berikut reviewnya saja aku sudah banyak yang nggak setuju.
“Belum baca…”
“Selama ini memang lo bacanya apa, sih?” dia kedengaran gemas banget.
“Anu…..cuma cerita-cerita kriminil…”
Dan aku seolah mendengar telepati batin darinya….lo mah nggak ada harapan…wkwkkw…
Nggak apa-apa kita masih tetap temenan, kok. Karena dia tidak menyerah untuk menarikku ke kubu nya hahaha..
Aku teringat sebuah quote yang intinya bilang, bahwa mau jadi apa saja, dimanapun tinggal, nggak boleh meremehkan apapun….
Entah itu manusia, barang ciptaan manusia, dan ide manusia. Termasuk local genius dan hasil budaya setempat.
Itu akan lebih mudah bila kita ada di posisi tengah atau rendah. Kalau di posisi merasa lebih tinggi atau ekstrim semacam menara gading….
…belum tentu ingat.
Sebagai contoh, saat aku ada di sebuah negara lain, rasanya hal yang mutlak benar adalah apa yang sesuai pandangan orang-orang di negara itu, karena itu adalah negara maju.
Namun saat berpindah tempat kesana dan kesini, semuanya bisa dimentahkan juga.
Kawanku ada yang belajar dan bekerja di negara C. Pengalaman sudah panjang banget. Tapi setelah dipraktekin ke negara D, semuanya bubar jalan di tempat. Seolah tinggal teori..
Kenapa? Karena selama ini ambil praktek, sampel, dan risetnya dari negara C, nggak bisa diterapkan untuk negara D.
Kawanku yang kukenal paling liberal akhirnya bisa jatuh paling religius. Yang sebaliknya juga ada.
Gaya hidup di suatu tempat yang dianggap luar biasa, nggak lama kemudian mulai ketahuan banyak yang nyungsep karenanya. Realita yang di percayai sebagai kebenaran bisa dengan gampangnya dibolak-balik.
Dan biasanya yang terlalu ekstrim ke satu sisi di satu titik akan bisa berakhir jatuh ke titik ekstrim lawannya. Aneh tapi nyata? Nyata..karena aku sering ketemu kasus seperti di atas.
Kecuali memang dari awal memang sudah punya pegangan dan atau memilih di tengah-tengah.
Intinya adalah semakin bertambah pengalaman, (seharusnya) semakin seseorang belajar untuk tidak meremehkan apapun atau mengeluarkan statemen yang sifatnya saklek dan agitatif.
Mungkin itu juga filosofi dari orang yang moderat.
Enaknya hidup jadi lebih tentram, bisa menerima banyak hal dan emosi bisa lebih stabil. Walaupun terkesan kurang meledak-ledak dan energik.
Bagiku nggak masalah bila ada yang memilih jadi ekstrim. Karena nanti akan ada penyeimbangnya juga. Itu yang “normal” nya ada. Kalau nggak ada malah bahaya…
Kamu sendiri bagaimana, suka ada di tengah-tengah atau agak nyerempet ke ekstrim?
Gambar : pixabay.com